Menurut Dr. Ida Ruwaida, sosiolog dari Universitas
Indonesia, ruang sosial yang makin terbatas dan ikatan emosional yang rendah
terutama di kota-kota besar menimbulkan perubahan dalam pola interaksi
masyarakat. Akhirnya, teknologi digital menjadi alat untuk menyalurkan emosi
alias katarsis lewat media sosial.
Sementara,
menurut Irwan Hidayana, antropolog dari Universitas Indonesia, ekspresi
generasi muda lewat media sosial tidak terlepas dari faktor eksternal yang
dialaminya. Misalnya, mereka tidak bisa mengekspresikan perasaannya pada
lingkungan terdekatnya, termasuk orangtua. Orang yang tinggal di kos juga tidak
bisa curhat pada keluarganya seleluasa orang yang tinggal bersama keluarga.“Seringkali kita menghadapi masalah yang memengaruhi suasana hati, misalnya macet, hujan, dan banjir. Padahal, kita tetap butuh ruang ekspresi. Karena keterbatasan ruang sosial, akhirnya media sosial jadi sarana curhat,” ujar Irwan. Namun, perlu diingat bahwa dunia maya pun punya kultur sendiri, yang terkadang justru membuat kita terjebak dalam masalah baru.
Itu sebabnya, menurut DR. Rose Mini A.P, M.Psi, psikolog dari Universitas Indonesia, “Selagi masih punya teman bicara, bicaralah pada (orang) yang nyata. Jangan di dunia maya. Bisa dibilang, orang yang curhat di dunia maya mengenai masalahnya “butuh pertolongan”. Akan jadi berbahaya kalau ada yang mengomentari curhatnya secara negatif. Kita tahu, tidak sedikit orang yang bertengkar di dunia maya karena memberikan respon buruk,” lanjut psikolog yang akrab disapa Romy ini.
Menghindari teknologi informasi tentu tidak bisa dilakukan. Sebaliknya, saran Irwan, ambillah sisi positifnya. “Misalnya, media sosial membuat kita bisa bertemu kembali dengan teman lama,” ujar Irwan sambil menambahkan, pertemanan di media sosial yang marak tak lepas dari berkurangnya ruang publik saat ini. “Tak heran, itu sebabnya banyak anak muda yang sekarang memanfaatkan fly over sebagai tempat pacaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar